Berbagi pengalaman dari salah seorang Sherlockian Indonesia yang
berkesempatan mengunjungi museum Sherlock Holmes di Baker Street 221B,
London, Inggris. Artikel ini ditulis pada tanggal 18 Desember 2009 oleh
saudara Irwan Syahrir. Berikut ini catatan perjanalannya mengunjungi Museum Sherlock Holmes yang terkenal itu.
London digelayuti mendung. Hari ini hari kedua kunjunganku. Musim
liburan paskah sedang berlangsung. Liburan paskah adalah liburan penting
(dan panjang) kedua setelah natal. Biasanya dianggap sebagai saat
berakhirnya musim dingin. Saat menjelang suka cita musim panas.
Terangnya matahari di hari-harinya yang panjang. Musim liburan ini kota
Oslo, kota tempat tinggalku, selalu jadi mendadak sepi. Toko-toko tutup.
Orang banyak yang mengambil cuti untuk menggenapkan liburan jadi
seminggu. Dulu waktu masih baru tinggal di Oslo, orang-orang menyarankan
untuk membeli cukup bahan makanan, karena tidak ada toko yang buka pada
musim liburan itu.
Dibawah rintik hujan yang berlangsung sejak
pagi, aku berdiri di halte seberang hotelku menunggu datangnya bis
tingkat (double decker). Hotelku terletak di Gower Street, West End,
hanya beberapa blok dari Universitas London. Aku naik line 24 jurusan
Pimlico. Jalur ini melewati Soho, ChinaTown, Shaftesbury avenue,
Trafalgar Square, Westminster Abbey dan Gedung Parlemen (tempat jam Big
Ben). Aku belum ada tujuan pasti selain untuk merasakan naik bis tingkat
warna merah khas London menyusuri jalan-jalan kota metropolitan ini.
Karena masih pagi, belum banyak orang, aku bisa dapat tempat duduk
paling depan di bagian atas bis. Sepanjang jalan kupotret sudut-sudut
kota yang kuanggap menarik.
Sebuah sepatu stiletto besar
berwarna putih dipajang disebuah gedung theater di sekitar Charing Cross
yang mementaskan lakon Priscilla: Queen of the Desert. Trafalgar Square
yang tak pernah sepi orang. Berbagai ornamen kota yang khas inggris
seperti: mobil taksi, kotak pos merah, titik biru (blue dots) yang
menghiasi gedung-gedung bernilai sejarah, simbol lingkaran merah dibelah
garis horizontal biru bertuliskan "underground" yang menjadi tanda
pemberhentian subway, tiang hitam dipersimpangan jalan dengan
panah-panah menunjuk ke berbagai arah dan tentu saja westminster abbey,
Big Ben dan London Eye. Di Parliament Square kulihat ada demonstrasi
menuntut kepedulian Inggris untuk menyetop genosida atas kelompok Tamil
di Srilanka. Ada spanduk putih bertuliskan "Hunger Strike Day 4".
Kuhabiskan waktu di seputar lokasi ini hingga waktu makan siang.
Selepas
makan siang di Shaftesbury Avenue, aku putuskan untuk mengunjungi
museum Sherlock Holmes. Dengan bantuan Lonely Planet guide kutemukan
letaknya di peta. Sistem transportasi kota ini teratur rapi, dan aku
sudah cukup biasa dengan sistem seperti ini di kota kediamanku di Oslo,
namun karena London sangat besar, jadi butuh waktu juga untuk memahami
sistem tersebut. Karena belum terbiasa memahami petunjuk di halte,
ditambah desakan sesama calon penumpang, membuatku beberapa kali salah
tempat tunggu. Bis yang seharusnya kunaiki tak kunjung datang. Rupanya
ada dua jalur bis yang lewat di sekita Baker Street. Kedua jalur
tersebut baru berpisah setelah melewati Baker Street. Jadi aku pikir aku
naiki saja yang datang duluan yaitu line 139 ke West Hampstead.
Bis
yang kutumpangi melewati Oxford Circus (bunderan Oxford), salah satu
pusat keramaian utama disamping Piccadily Circus dan Trafalgar Square.
Geli juga rasanya mengingat ketika membaca buku panduan, aku
membayangkan Piccadily Circus itu - dari namanya - adalah sebuah sirkus
lengkap dengan binatang-binatang eksotis, badut dan akrobat.
Selepas
Oxford Circus, keramaian mereda. Bahkan keramaian tidak bersisa ketika
bis menyusuri jalan-jalan kawasan pemukiman. Semuanya terlihat begitu
tenang dalam nuansa mendung yang teduh seperti yang tergambar dalam
serial tv buatan inggris, seperti Mr. Bean atau Fawlty Tower. Seperti
juga di norway atau di kebanyakan negara eropa lainnya, di dalam bis
selalu ada petunjuk halte berikut yang tertulis di layar maupun
disebutkan secara lisan lewat speaker, misalnya "Ini adalah bis 139
jurusan West Hampstead. Perhentian berikutnya adalah ... ". Jadi sambil
menikmati pemandangan daerah pemukiman London, aku menunggu-nunggu nama
Baker Street station disebut. Perhatianku teralih beberapa saat ketika
bis melewati London Business School di Park Road.
Sejenak moodku
berubah nostalgik. Ternyata impian masa lalu untuk sekolah di Inggris
masih ada bekasnya. Gaya bangunan, tata letak dan ornamen-ornamen
bangunan kampus disana memang mirip yang gambaran yang aku dapat dari
British Council (BC) Surabaya dulu. Sesaat benakku dipenuhi dengan
impian-impian lama ketika membolak-balik brosur universitas disana. Aku
dulu memang suka nongkrong di BC sepulang sekolah untuk baca-baca buku
literatur klasik edisi luks, buka-buka brosur universitas, membaca
majalah asing, atau sekedar menonton serial video.
Setelah bis
semakin jauh dari lingkungan kampus London Business School, aku mulai
curiga kok tampaknya sudah keluar dari suasana pusat kota (downtown).
Padahal menurut buku panduan Baker St. seharusnya tidak begitu jauh dari
pusat kota. Segera aku turun di halte berikutnya Lisson Grove, dan
mengecek peta lagi. Naluri waspada akibat kehilangan arah meningkat lagi
menggantikan lamunan masa lalu yang menghanyutkan.
Ternyata
benar aku telah kelewatan agak jauh. Akhirnya aku menunggu di halte yang
berseberangan untuk mencegat bis yang ke arah pusat kota lagi. Halte
ini terletak di daerah pemukiman yang cukup sunyi. Tak banyak kendaraan
yang lewat. Suasana liburan paskah lebih terasa disini daripada di pusat
kota London. Di seberangku kulihat berjajar toko boneka, kafe dan
sejumlah toko kecil. Semua tutup. Tidak seperti di pusat kota London
yang tetap "business as usual". Dalam hati aku bergumam, ini enaknya di
London, faktor bahasa membuatku cepat mengerti semua yang terjadi
disekitarku. Papan nama toko, pengumuman, iklan, bahkan surat kabar
semuanya bisa kupahami.
Display menunjukkan bis yang kutunggu
masih enam menit lagi datangnya. Aku putar lagu-lagu Oasis di iPodku.
Lagu-lagu yang kukenal baik seperti Rocking Chair, Dont Look Back In
Anger, dan Wonderwall. Nada-nada yang cocok untuk jadi "soundtrack"ku
saat itu. Lagu-lagu itu adalah kesukaanku saat masa remaja dulu.
Kenangan mimpi-mimpi mengunjungi Eropa kembali datang tak terbendung.
London masih mendung dan hujan rintik-rintik tidak membuat kuyup.
Bis
139 jurusan Waterloo datang, aku naik lagi, kali ini dengan sedikit
lebih awas. Karena terlalu hati-hati aku turun terlalu cepat. Untungnya
aku jadi melewati kampus London Business School tadi lagi, dan sekarang
jalan kaki. Lebih bebas memandang kompleks kampus yang lengang sambil
membayangkan dinamikanya di kala ramai.
Sepuluh menit berlalu
sampailah aku di tikungan Baker Street. Papan nama jalan bertuliskan:
Baker Street NW1 - City of Westminster. Apartemen nomor 221b ternyata
dekat pojokan. Sebuah apartemen kecil (dan fiktif) yang diubah
sedemikian rupa sesuai dengan deskripsi dalam cerita Sherlock Holmes
karya Sir Arthur Conan Doyle. Di apartemen sebelahnya ada toko suvenir
bertuliskan "The Sherlock Holmes Museum - Souvenirs, Books, Antiques and
Curios". Orang harus membeli tiket masuk disana seharga 6 pound, lalu
antri menunggu giliran masuk. Karena tempatnya kecil, harus diatur
jumlah pengunjung yang masuk bersamaan.
Seorang polisi
berpakaian ala Scotland Yard dengan topi khas, seragam dan jubah berdiri
di pintu gedung sambil mengatur giliran. Di pagar depan ada sebuah
papan bergambar Sherlock dengan topi dan pipa khasnya bertuliskan
"Sherlock Holmes - Consulting Detective". Sang polisi juga menyediakan
pipa dan topi buat turis yang ingin berfoto ala Sherlock sambil menunggu
giliran masuk.
Di lantai dua kami disambut seorang bapak tua
yang mengaku sebagai Dr Watson. Dia menanyakan negara asal kami dan
berbasa-basi sedikit dengan ucapan selamat datang di kediaman dia dan
Sherlock. Aku tanya, Sherlock mana? Sedang keluar, jawab Watson. Lalu
dia menerangkan isi apartemen 3 lantai itu, dimana kamar Sherlock, kamar
dia dan ada beberapa lantai khusus yang isinya patung-patung yang
diambil dari berbagai episode ceritanya.
Sebelum kami
dipersilakan mengeksplorasi, dia menawarkan siapa yang mau berfoto
sebagai Sherlock dengan pipa dan topi khasnya. Langsung aku mengiyakan
sambil minta tolong seorang wisatawati dari Austria untuk mengambil
fotoku. Aku duduk disofa, bertopi Sherlock sambil memegang pipa
cangklong besar, bercakap dengan Watson. Setelah itu pengunjung bebas
untuk mengunjungi setiap sudut apartemen. Tentu saja tidak ada batasan
untuk memotret layaknya di beberapa museum tertentu, toh semuanya adalah
benda fiktif, bukan benda bersejarah.
Buku-buku. Pipa cangklong
berbagai bentuk, tergantung di dinding maupun terserak diatas meja.
Topi khas Sherlock. Kaca pembesar berbagai ukuran. Teropong. Pena dan
tinta. Perangkat cukur jenggot. Jam rantai. Pistol kuno maupun modern.
Foto-foto. Berkas-berkas kasus yang terbuka. Kotak korek api. Meteran.
Lencana polisi. Diary. Dan berbagai benda kuno lainnya memberikan kesan
sangat maskulin dan intens. Seorang jenius dengan otak yang sangat aktif
dan diaktifkan dengan stimulan tembakau, morfin atau kokain (lihat The
Sign of Four).
Di loteng ada wastafel dan kakus model lama
dengan tanki air terpisah dan digantung di dinding dengan posisi cukup
tinggi. Ada baskom dan tempat air porselen disamping kakus. Keranjang
baju kotor, sepasang sepatu coklat kulit, handuk putih dan penebah
tergantung di dinding. Tidak rapi, seperti rumah yang sedang ditinggali.
Di
lantai selanjutnya lebih mengesankan museum dengan patung lilin
tokoh-tokoh dan episode-episode dalam cerita. Plakat-plakat berisi
cuplikan kasus-kasus petualangan Sherlock dipajang untuk menjelaskan
berbagai episode tersebut seperti: The case of The Red Headed League
atau The Disappearance of Lady Francis Carfax dan sebagainya
.
Para
penggemar serial Sherlock Holmes pasti akan senang mengunjungi museum
ini. Cerita ini pun aku tulis untuk papaku - seorang fans Sherlock.
Kehadiranku disini me'wakili'nya. Intensnya suasana apartemen Sherlock
tadi - penuh dengan barang-barang yang kusukai, terutama buku - tentu
saja membangkitkan minatku untuk membaca serial ini. Sebelum kembali ke
Oslo kubeli beberapa jilid cerita tulisan Arthur C. Doyle ini, berikut
DVD boks dengan Jeremy Brett sebagai pemeran Sherlock Holmes. Sebuah
ranah baca baru siap untuk dieksplorasi.